Hikmah dan Pelajaran 1:
Bertanya dan meminta masukan kepada orang yang berilmu merupakan solusi dari segala permasalahan.
Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu merasa ada yang ganjil dari amalan yang dikerjakan sebagian orang. Beliau tidak langsung mengingkarinya namun bertanya dahulu kepada Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang lebih banyak menimba ilmu dari Rasulullah [ﷺ].
Sebuah kisah lain bisa menjadi ibrah mengenai bahayanya beramal tanpa ilmu. Shahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma dahulu safar dengan rombongannya. Ternyata, di perjalanan tersebut salah satu anggota rombongan tertimpa batu dan melukai kepala sampai parah. Saat tidur, orang tersebut mimpi basah, padahal cuacanya sangat dingin dan dikhawatirkan lukanya akan lebih parah. Dia pun bertanya kepada para shahabat yang ikut dalam rombongan itu apakah ada keringanan baginya untuk tidak mandi. Para shahabat menjawab bahwa tidak ada keringanan, dia tetap harus mandi. Dia pun mandi, yang akhirnya menyebabkan dirinya meninggal dunia.
Ketika hal ini diceritakan kepada Rasulullah [ﷺ], beliau pun marah dan mengatakan yang artinya, “Mereka telah membunuhnya! Semoga Allah membunuh mereka! Tidakkah mereka itu bertanya jika mereka tidak mengetahui?! Obat dari kebodohan itu hanyalah dengan bertanya.” [H.R. Abu Dawud, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah]
Inilah yang seharusnya dilakukan seorang muslim saat bertemu dengan perkara agama yang tidak diketahuinya. Jangan sembarangan menetapkan hukum sampai bertanya kepada ulama. Sungguh, akibat yang ditimbulkan dari sembarang menghukumi sesuatu dalam agama, bisa jadi sangat parah.
Hikmah dan Pelajaran 2:
Bid’ah –dari segi ketiadaan dalil- dibagi dua: bid’ah haqiqiyah dan bid’ah idhafiyah.
[1] Bid’ah haqiqiyah — adalah bid’ah yang sama sekali tidak memiliki dasar dalil dari agama ini. Contohnya, keyakinan Khawarij yang mengafirkan kaum muslimin, keyakinan Qadariya’h yang menolak adanya takdir, puasa dengan tidak berbicara, dsb.
[2] Bid’ah idhafiyah — adalah bid’ah yang memiliki dua sisi. Sisi pertama, amalan tersebut memiliki dalil yang menunjukkan asalnya; dan sisi kedua, amalan tersebut memiliki tambahan yang tidak ditunjukkan dalil baik secara tegas maupun isyarat.
Yakni, asal amalan disyariatkan, akan tetapi menjadi bid’ah karena adanya penambahan dari segi yang lain. Misalnya, ditambahkan tata cara tertentu, waktu tertentu, jumlah, atau keutamaan tertentu. Sebab, penentuan hal-hal tersebut merupakan kekhususan syariat yang tidak bisa dijangkau nalar.
Misalnya dalam kisah di atas, zikir tasbih, tahlil, tahmid, dan takbir merupakan zikir yang sangat besar pahalanya.
Rasulullah [ﷺ] menjelaskan yang artinya, “Ucapan yang paling dicintai Allah adalah subhanallah, alhamdulillah, laa ilaha illallah, dan allahu akbar. Tidak mengapa engkau mulai dengan yang mana saja.” [HR. Muslim].
Sehingga, dari sisi ini amalan yang mereka lakukan memiliki dalil yang menunjukkan asal amalan tersebut.
Namun, Ibnu Mas’ud rahimahullah justru mengingkari mereka dengan sangat keras. Apa sebabnya?
Jawabnya,
— karena ada tambahan yang tidak ditunjukkan dalil.
— Mereka menentukan tata cara, waktu, dan jumlah tertentu yang tidak ada dalam dalil.
Begitu pula amalan saleh lainnya, jika dalil menyebutkan secara umum, maka tidak boleh dikhususkan tanpa dalil. Jika seseorang mengamalkannya secara mutlak sesuai dalil, hukumnya sunnah. Namun, jika ada yang mengamalkan amalan itu dengan keyakinan adanya jumlah, tata cara, waktu, atau keutamaan tertentu, amalan itu berubah menjadi bid’ah. Bid’ah itulah yang dijuluki bid’ah idhafiyah.
Ad-Darimi rahimahullah meriwayatkan dalam Sunan beliau, ada orang yang salat setelah Ashar dengan rakaat yang banyak. Sa’id bin Musayyib rahimahullah yang melihat apa yang dilakukan orang ini, langsung melarangnya. Orang itu pun bertanya, “Wahai Abu Muhammad (Sa’id bin Musayyib) apakah Allah akan mengazabku dikarenakan salat?”
Sa’id rahimahullah menjawab, “Tidak. Akan tetapi, Allah mengazabmu karena menyelisihi sunnah Nabi [ﷺ].”